BAB
II
METHODOLOGI
PENELITIAN
(Epistimologi
Kualitatif Dan Kuantitatif)
Methodologi penelitian merupakan ilmu yang mempelajari
tentang metoda-metoda penelitian. Dilingkungan filsafat, logika dikenal sebagai
ilmu tentang alat untuk mencapai kebenaran. Bila ditata dalam sistematika
tertentu, methodology penelitian merupakan bagian dari logika.[1] Tujuan
dari metodologi penelitian itu sendiri adalah untuk mengetahui gambaran
mengenai keadaan (description of exiting reality) hubungan antara satu
hal dengan yang lain, khususnya hubungan sebab akibat (causality).
Penilaian mengenai hubungan antara bneberapa hal (relations of variable)
akan menghasilkan kesimpulan umum (generalization) atau kecenderungan
umum (general tendency). Apabila mendekati kepastian akan menimbulkan
penetapan suatu hukum.[2] Pada
umumnya metodologi pengetahuan mengandung unsure-unsur yang berhubungan secara
berkesinambungan, yang membentuk sustu sistematika ilmu, sehingga menyebabkan
ilmu pengetahuan bisa diterima keberadaannya. Ada tiga masalah yang membedakan satu
pengetahuan dengan yang lainnya seperti perbedaan antara pengetahuan ilmiah dan
pengetahuan agama, yaitu ontology, epistimologi dan aksiologi.[3]
Epistimologi adalah cabang filsafat yang menbahas
secara mendalam segenap proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Epistimologi
menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan.
Pertanyaan yang mendasar dari epistimologi ialah: apakah pengetahuan itu,
apakah yang merupakan asal mula pengetahuan, bagaimana cara membedakan antara
pengetahuan dan pendapat, apakah yang merupakan bentuk pengetahuan, corak-corak
pengetahuan apakah yang ada, bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan, apakah
kebenaran dan kesesatan itu dan apakah kesalahan itu.[4]
Pembahasan metode penelitian lebih pada aspek
epistimologi, yaitu cara memperoleh ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah. Cara
menyusun tubuh pengetahuan ini menurut Jujun,[5]
didasarkan pada:
1.
Kerangka
pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan
pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun.
2.
Menjabarkan
hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut.
3.
Melakukan
verifikasi terhadap hipotesis untuk menguji kebenaran dan menyatakan secara
factual.
Epistimologi ilmu pengetahuan terdiri dari tiga bagian,
yaitu: Observasi, deduksi dan induksi. Observasi merupakan upaya untuk melihat,
mengamati dan mengevaluasi kenyataan yang ada, kemudian menetapkan asumsi,
klasifikasi, abstraksi, hakikat, tipe, ideal dengan menunjukkan generalisasi.
Observasi diperlukan sebagai bukti akan keberadaan suatu fenomena yang
berhubungan erat dengan dengan aktivitas manusia. Sementara itu deduksi
membicarakan cara-cara untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan bila lebih dahulu
telah diajukan pertanyaan-pertantaan mengenai semua atau sejumlah ini diantara
suatu kelompok sesuatu. Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran deduktif
selalu merupakan akibat yang bersifat keharusan dari pernyataan-pernyataan yang
lebih dahulu diajukan. Sedangkan induksi membicarakan tentang penarikan
kesimpulan dari pernyataan-pernyataan kusus. Kesimpulan hanya bersifat
probabilitas berdasarkan atas pernyataan-pernyataan yang telah diajukan.[6]
Pada pembahasan ini akan diungkapkan landasan
epistimologi penelitian kualitatif dan kuantitatif.
A.
Konsep Dasar Penelitian Kualitatif
Ada sejumlah nama yang digunakan para ahli
tentang metodologi penelitian kualitatif
diantaranya ialah; gronded, research, ethnometodologi, paradigma naturalistik,
interaksi simbolik, semiotik, hermeniutik, atau holistik.[7] Untuk
mengadakan pengkajian terhadap istilah penelitian kualitatif perlu kiranya
dikemukakan beberapa difinisi. Bogdan
dan Taylor sebagaimana yang kutip Lexy J.
Moleong, mendifinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata
–kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Menurutnya, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara
holistik (utuh ). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan indibvidu atau
organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai
bagian dari suatu keutuhan.[8]
Sejalan denga divinisi tersebut, Krik dan
Miller ( dalam Lexy J. moleong, 3 : 1999) mendivinisikan bahwa penelitian kualitatif
adalh tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasanya dalam peristilahanya. Lincoln dan Guba (1985)
menyatakan bahwa penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri yang membedakanya
dengan penalitian jenis lain nya. Ada
sepuluh ciri paeaanaelitian kualitatif sebagai berikut:
1.
latar
alamiah, penelitian kualitatif melekukan penelitian pada latar (setting
) almiah atau pada konteks dari suatu keutuhan ( entity ). Hal ini dilakukan,
karena ontologi alamiah menghendaki adanya kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan
yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya. Menurut lincoln dan
Guba hal tersebut didasrkan atas beberapa asumsi : (1) tindakan pengamatan
mempengaruhi apa yang dilihat, karena itu hubungan penelitian harus mengambil
tempat pada keutuhan dalam konteks untuk keperluan pemahaman; (2) konteks
sangat menentukan dalam menepatkan apakah suatua penemuan mempunyai arti bagi
konteks lainya, yang berarti bahwa suatu fenomena harus diteliti dalam
keseluruhan pengaruh lapangan dan (3) sebagian strurtur nilai kontekstual bersifat determinatif terhadap apa yang akan
dicari.
2.
Manusia
sebagai alat ( instrumen ), dalam penelitia kualitatif, peniliti sendri
dengan batuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Hal ini dilakukan
jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan mempersiapkan nya lebih dahulu
yang lazim digunakan dalam penelitian klasik, maka sangat tidak mungkin untuk
mengadakan penyesuian terhadap kenyataan-kenyataan yang ada dilapangan. Oleh
karena itu pada waktu mengumpulkan data dilapangan , peneliti berperan serta
dalam kegiatan kemasyarakatan ,yang olehLexy J.Moleong (1999) disebut
pengumpulan “pengamatan berperan serta “(participant-participant).
3.
Metode
data secara induktif, penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara
induktif. Analisis induktif ini digunakan karena beberapa alasan. Pertama,
proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan ganda sebagai yang
terdapat dalam data; kedua, analisi induktif lebih dapat membuat hubungan
peneliti responden menjadi ekplisit, dapat dikenal, dan ekontebel; ketiga,
analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat
keputusan-keputusan tentang dapat-tidaknya pengalihan kepada sutu latar lainya;
keempat, analisis induktif lebih dapat menmukan pengaruh bersama yang
mempertajam hubungan-nubungan;dan terakhir, analisis demikian dapat
memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur
analitik.
4.
Metode
kualitatif, penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif. Metode
kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbanga. Pertama, menyesuakan
metode kualitatif lebih mudah apabila berhadaadapan dengan kenyataan ganda;
kedua, metode ini meyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti
dan responden; dan ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyasuakan
diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang
dihadapi.
5.
Teori
dari dasar (grounded theory), penelitian kualitatif lebih menghedaki arah
bimbingan penyusunan teori subtantif
yang berasal dari data. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal; pertama, tidak
ada teori a priori yang menyukupi kenyataan-keyataan ganda yang mungkin akan
dihadapi; kedua, penelitian ini mempercayai apa yang dilihat sehingga ia
berusaha umtuk sejauh mungkin menjadi netral; dan ketiga, teori dari dasar
lebih dapat responsif terhadap nilai-nilai konstekstual. Dengan menggunakan
analisis secara induktif, berarti bahwa pencarian data bukan dimaksudkan untuk
membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelum penelitian diadakan.
Analisis ini lebih merupakan pembentukan abstraksi berdasarkan bagian-bagian
yang telah dikumpulkan, kemudian dikelompok-kelompokkan. Jadi peneliti dalam
hal ini menyusun atau membuat gambaran yang makin menjadi jelas sementaradata
dikumpulkan dan bagian-bagiannya diuji. Dalam hal ini peneliti tidak berasumsi
bahwa sudah cukup yang diketahui untuk memahami bagian-bagian peting sebelum
mengadakan penelitian.
6.
data
yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal
inidisebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang
dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti.
Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan -kutipan data untuk
memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin berasal dari
naskah wawancara, catatan lapangan, foto-vidiotape, dokuken pribadi, catatan
atau memo dan dokumen resmi. Pada penulisan laporan ini , peneliti menganalisis
data yang sangat kaya tersebut dan sejauh mungkin dalam bentuk aslinya. Hal ini
hendaknya dilakukan seperti orang merajut sehingga setiap bagian ditelaah stu
demi satu.
7.
Lebih
meningkatkan proses dari pada hasil, penelitian kualitatif lebih banyak
mementingkan segi “proses” dari pada “hasil”. Hal ini disebabkan
oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan juah lebih jelas pabila
diamati dalam proses. Bogdan dan Biklen (1982;28)memberikan contoh seorang
peneliti yang menelaah sikap guru terhadap jenis siswa tertentu. Peneliti
mengamatinya dalam hubungan sehari-hari, kemudian menjelaskan tentang sikap
yang diteliti. Dengan kata laian, peranan proses dalam penelitian kualitatif
besar sekali.
8.
Adanya
“Batas” yang ditemukan oleh “Fokus”, penelitian kualitatif
menghendaki ditetapkanya batas dalam penelitiannya atas dasar fokus yang timbul
sebagai masalah dalam penelitian. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, batas menentukan kenyataan ganda yang kemudian mempertajam fokus.
Kedua penetapan fokus dapat lebih dekat dihubungkan oleh interaksi antara
peneliti dan fokus.dengan kata lain, bagaimanapun, penetapan fokus sebagai
masalah penelitian penting artinya dalam usaha menemukan batas penelitian.
Dengan hal itu dapatlah peneliti menemukan lokasi penelitan.
9.
Adanya
kriteria khusus untuk keabsahan data, penelitian kualitatif meredifisikan
validitas, realibitas dan obyektifitas dalam versi lain dibandingkan dengan lazim digunakan
dalam penelitian klasik. Menurut Lincoln dan Guba (1985:43) hal ini disebabkan
oleh validitas internal cara lama telah gagal karena hal itu menggunakan
isomorfisme antara hasil penelitian dan
kenyataan tunggal dimana penelitian dapat dikonvergensikan. Kedua, validitas
eksternal gagal karena tidak taat pada asa dengan aksioma dasar dari
generalisinya; ketiga, kreteria reliabitas gagal karena mempersyaratkan
stabilitas dan keterlaksanaan secara mutlak dan keduanya tidak mungkin
digunakan dalam paradigma yang didasarkan atas desain yang dapat berubah-ubah. Keempat,
kreteria obyektifitas gagal karena penelitian kualitatif justru memberi
kesempatan iteraksi antara peneliti-responden dan peranan nilai.
10.
Desain
yang bersifat sementara, penelitian kualitatif menyusun desain yang secaraterus
menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain
yang telah disusun secara katat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi. Hal
ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, tidak dapat dibayangkan sebelumnya
tentang kenyataan-kenyataan ganda dilapangan; kedua, tidak dapat diramalkan
sebelumnya apa yang akan berubah karena hal itu akan terjadi dalam interaksi
antara peneliti deangan kenyataan ketiga, bermacam sistim nilai yang terkait
berhubungan dengan carayang tidak dapat diramalkan.
B. Dasar Theoritis Penelitian Kualitatif.
Seorang peneliti yang mengadakan
penelitian kualitatif biasanya berorientasi pada orientasi teoritis. Pada
penelitian kualitatif, teori dibatasi pada pengertian; suatu peryataan
sistimatis yang berkaitan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data
yang diuji kembali secara impirus. Dalam uraian tentang dasar teori tersebut, Bogdan dan Biklen (1982)
menggunakan istilah paradigma. Paradigma dalam hal ini berguna untuk
mengarahkan cara berfikir dan cara penelitian. Penelitian yang baik adalah
menyadari dasar orientasinya memanfaatkanya dalam pengumpulan dan analisis
data. Pada bagian berikut dikemukakan beberapa kemungkinan teori yang menunjang
pendekatan kualitatif.
Berikut dikemukakan beberapa
pendekatan yang menjadi landasan filosofis penelitian kualitatif.
1.
Pendekatan
fenomenologis, penelitian dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti
peristiwa-peristiwa dan kaitan-kaitanya terhadap orang-orang biasa dalam
situasi tertetu. Sosiologi fenomologis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh
filsuf Edmund Husserl dan Alfred Schultz. Pengruh lainya berasal dari Weber
yang memberi tekanan pada verstehen, yaitu pengertian interpretatif terhadap
pemahaman manusia. Fenomologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti
sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti oleh mereka. Inkuiru fenomologis
memulai dengan diam-diam merupakan tindakan untuk mengungkap pengertian sesuatu
yang sedang diteliti. Yang ditekankan oleh kaum fenomologis ialah aspek
subyektif dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para sobyekyang ditelitinya
dengan sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu
pengertian yang dikembangkan oleh mereka
disekitar peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Para
fenomolog percaya bahwa mahkluk hidup tersedia berbagai cara untuk
menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa
pengertian pengalaman kitalah yang membetuk kenyataan. Menurut Neong Muhadjir (1998) bahwa
pendekatan phenomologik bukan hendak berfikir spekulatif, melainkan hedak
mendudukan tinggi pada kemampuan manusia untuk berfikir reflek, dan lebih jauh
lagi untuk menggunakan logika reflektif disamping logika induktif dan deduktif,
serta logika materiil dan logika social.
Pendekatan phenomologik bukan hendak menampilkan teori dan
konseptualisasi yang sekedar berisi anjuran atai imperatif, melainkan
mengangkat makna etika dalam berteori dan berkonsep.
2.
Interaksi simbolik, bersamaan dengan
perspektif fenomologis, pendekatan ini berasumsi bahwa penglaman manusia
ditengahi oleh penafsiran. Obyek, orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki
pengertianya sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan untuk meraka.
Penafsiran bukanlah tindakan bebas dan bukan pula ditentukan oleh kekuatan manusia
atau bukan. Orang-orang menafsirkan sesuatu dengan bantuan orang lain seperti
orang-orang masa lalu, penilis, keluaarga, pemeran ditelevisidan
pribadi-pribadi yang ditemuinyadalam latar tempat mereka bekerjaatau bermain,
namun orang lain tidak malakukannya untuk mereka. Melalui interaksi seseorang
membetuk pengertian. Orang dalam situasi tertentu (misalnya mahasiswa dalam
ruang kuliah tertetu) sering mengembangkan difinisi bersama (atau “perspektif
bersama” dalam bahasa interaksi simbolik) karena mereka secara teratur
berhubungan dan mengalami pengalaman bersama, masalah, dan latar belakang,
tetapi kesepakatan tidak merupakan keherusan. Di pihak lain sebagian memegang “definisi
kebersamaan” untuk menunjuk pada “kebenaran”, suatu pengertian yang
senantiasa dapat disepakati. Hal itu dapat oleh orang yang melihat sesuatu dari
sisi yang lain. Bila bertindak atas dasardefinisi tertentu, sesuatu barangkali
tidak akan baik bagi seseorang. Biasanya pada orang seorang ada masalah, dan
masalah itu dapat membentuk definisi baru, dapat meniadakan yang lama, dengan
kata lain dapat berubah. Bagaimana definisi itu berubah atau berkembang
merupakan pokok persoala yang diteliti.
Dalam interaksi simbolik
terdapat beberapa prinsip dalam menafsirkan prilaku manusia. Penganut
interaksionis berasumsi bahwa analisis lengkap prilaku manusia akan mampu
menangkap makna simbul dalm interaksi. Pakar sosiologi harus juga menangkap
pola prilaku dan konsep diri. Konsep itu beragam dan kompleks, verbaldan non
verbal, terkatakan dan tidak terkatakan. Prinsip metodologi pertama adalah;
social dan interaksi itu menyatu. Tak cukup bila kita hanya merekam fakta ,
kita harus mencari yang lebih jauh, yaitu mencari konteks seningga dapat
ditangkap simbul dan maknanya. Prinsip kedua; karena sinbul dan makna itu tak
lepas dari sikap pribadi, maka jati diri obyek dengan demikian menjadi
penting. Prinsip metodologi ketiga
adalh; peneliti harus sekaligus mengaitkan antara social dengan jatidiri dengan
lingkungan dan hubungan socialnya. Konsep jatidiri terkait dengan konsep
sosiologik tentang struktur social dan lainnya.
Prinsip keempat adalah; hendaknya direkam stuasi yang menggambarkan
social dan maknanya, bukan hanya merekam fakta sensual saj. Prinsip kelima adalh; metode-metode yang
digunakan hendaknya mampu mereflesikan bentuk prilaku dan prosesnya. Prinsip
keenam adalah; metode yang dipakai hendaknya mampu menangkap makna di balik
interaksi. Kadangkala ada interaksi yang menunjuk tentang perbedaan hasil
penelitian pada daerah kasus yang sama. Perlu dipertimbangkan bahwa banyak
sekali kemungkinan terjadinyaperbedaan hasil penalitian, karena memang obyek
yang diobservasi berbeda , atau analisisnya berbeda, atau yang dipertanyakan
berbeda. Prinsip ketujuh mengemukakan bahwa sesitizing (yaitu sekedar
mengarahkan pemikiran) itu yang cocok dengan interaksionisme simbolik dan
ketika mulai memasuki lapangan perlu dirumuskan menjadi yang lebih operasional
menjadi scientific concepts. Bila prinsip ketujuh ini digunakan,
nampaknya mengembangkan interaksionisme simbolik yang phenomologik akan
mengarah ke pemikiran statistik kuantitatif.
3.
Pendekatan
etnographi, merupakan salah satu model penelitian yang lebih banyak terkait
dengan antropologi, yang mempelajari social, yang menyjikan pandangan hidup
sobyekyang menjadi sobyek studi. Lebih jauh etnografi telah diperkembangkan
menjadisalah satu model penelitian ilmu-ilmu social yang menggunakan landasan
filsafat phenomologi. Studi etnografi merupakan salah satu deskripsi tentang
cara berpikir, hidup, berprilaku.
4.
Pendekatan etnometodologi adalah studi tentang bagaimana
individu menciotakan dan memehami kehidupannya seheri-hari. Sobyek
etnometodologi bukanlah suku-suku yang terasing, melainkan orang-orang dari berbagai macam stuasi dalam masyarakat
kita. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orng mulai melihat,
menerangkan dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Menurut para
etnometodolog, penelitian bukanlah merupakan usaha ilmiah yang unik, tetapi
lebih merupakan “penyelesaian praktis”.
C.
Konsep Penalitian Kuantitatif.
Metodologi penelitian kuantitatif dengan teknik statistiknya diakui
mendominasi anlisis penelitian sejak abad ke-18 sampai abad ini. Dengan semakin
canggihnya teknologi komputer, berkembang teknik-teknik anlisis statistikyang
mendukung pengembangan penelitian kuantitatif. Metodologi penelitian
kuantitatif statistik menjadi lebih bergengsi daripada penelitian kualitatif.
Lebih-lebih bila diperhatikan pula sejumlah kenyataan bahwa ada sementara calon
ilmuan yang menggunakan metodologi kualitatif dengan alasan dan bukti ketidak
mampuannya menguasai teknik-teknik analisis statistik.
Pada segi lain, karena
bergengsinya metodologi penelitian kuantitatif dengan teknik-teknik
statistiknya banyak ilmuwan ataupun pakar ilmu yang tenggelam ke dalam
teknik-teknik analisis statistik yang canggih, dan tidak tahu atau melupakan
kelemahan di samping keunggulan filsafat dan teori metodologi penelitian yang
melandasinya.
Metodologi penelitian
kuantitatif statistik bersumber dari wawasan filsafat potivisme Comte, yang
menolak metafisik dan teologik; atau setidak-tidaknya mendudukan metafisik dan
metologik sebai primitif. Materialisme mekanistik-mekanistik sebagai perintis
pengembangan metodologi ini mengemukakan bahwa; gambar dunia secara lebih
menyakinkan didasarkan pada penelitian empirik daripada spekulasi filosofik.
Posivisme
logik lebih jauh mengembangkan metodologi aksiomatisasi teori ilmu kedalam
logika matematika; dan dikembangkan lebih jauh lagi dalam logika induktif,
yaitu; ilmu itu bergerak naik dari fakta-fakta khusus fenomenal ke generalisasi
teoritik. Menurut positivisme, ilmu
valid adalah ilmu yang dibangun dari empirik.
Dengan pendekatan positivisme dan
metodologi penelitian kuantitatif, generalisasi diskontruksi dari rerata
keragaman individual atau rerata frekuensi dengan memantau kesalahan-kesalahan
yang mungkin. Metodologi kuantitatif menuntut adanya rancangan penelitian yang
menspesifikan obyeknya secara eksplisit dielimenasikan dari obyek-obyek lain
yang tidak diteliti. Tata fikir logik sesuai dengan teknik analisis yang telah
diperkembangkan, metodologi penelitian kuantitatif membatasi sejumlah tatafikir
logik tertentu, yaitu korelasi, kausalitasdan interaktif; sedangkan obyek data
ditata dalam tatafikir katagorisasi, interfalisasikdan kontinuasi.
Bila diringkaskan, metodologi penelitian
kuatitatif mulai dengan penetapan obyek studi yang spesifik, dieliminasikan
dari totalitas atau konteks besatnya; sehingga eksplisit jelas obyek studinya.
Disusun kerangka teori sesuai dengan obyek studi spesifiknya. Dari kerangka
teori itu ditelorkan hipotesis atau problematik penelitian, instrumentasi
pengumpulan data, dan teknik sampling serta teknik tasisnya;juga rancangan
metodologik lain, seperti; penetapan batas signifikansi, teknik-teknik
penyesuain bila ada kekurangan atau kekeliruan dalam hal data, administrasi,
analisis, dan semacamnya. Dengan kata lain semua dirancangkan masuk terjun
kelapangan untuk meneliti.
Menurut Imran Arifin (1996) bahwa penelitian
kuantitatif adalah penelitian mempunyai paradigma penelitian yang bercirikan:
posivistik, hipotetik deduktif, surfase behafior dan partikulastik. Metodologi
penelitian yang mempunyai landasan posivistik mempunyai ciri-ciri didalamnya:
a). menggunakan logika eksperimen dengan
memanipulasi variabel yang dapat diukur secara kuantitatif agar dapat dicari
hubungan diantara variabel, b). mencari
hukum universal yang dapat meliputi semua kasus, walaupun dengan
pengolahan statistik dicapai tingkat probabilitas dengan mementingkan sampling
untuk mencari generalisasi, c). netralitas pengamatan dengan hanya meniliti
gejala-gejala yang dapat diamati secara langsung dengan mengabaikan apa yang
tidak dapat diamati dan diukur dengan instrumen yang valid dan reliabel.
D.
Perbandingan
Antara Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif.
Terlepas dari
pertentangan pro dan kontra tentang pendekatan kualitatif dan kuantitatif,
masing-masing pendekatan mempunyai manfaat yang sesuai dengan tofik dan masalah
yang sedang diteliti. Suatu contoh
metode apakah yang relevan dengan masalah atau tofik yang digunakan untuk
menghitung frekuensi distribusi atau korelasi. Maka jawabanya, pendekatan yang
relevan adalah menggunakan pendekatan kuantitatif. Sedangkan untuk mengetahui
aspek-aspek sosial tertetu pendekatan yang sering digunakan adalh pendekatan
kualitatif. Untuk memudahkan
mengetahui perbandingan antara pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif
berikut dipaparkan beberapa pendapat para ahli. Nasution (1988) membandingkan
pendekatan kuantitatif dan kualitatif, sebagai berikut:
No
|
Positifisme/ Kuantitatif
|
No
|
Post –
Positivesme/ Kualitatif
|
1
2
3
4
|
Mempelajari permukaan masalah atau bagian luanya.
Bersifat atomistik, memecahkan kenyataan dalam bagian-bagian,
mencari hubungan antara
variabel yang terbatas.
Bertujuan mencapai generalisasi guna meramalkan
atau memprediksi.
Bersifat deterministik tertuju kepada kepastian dengan menguji
hipotesis.
|
1
2
3
4
|
Mencoba memperoleh gambaran yang lebih mendalam.
Memandang peristiwa secara keseluruhan dalam
konteksnya dan mencoba memperoleh pemahaman yang holistik.
Memahami makna (meaning) atau verstehen.
Memandang hasil penelitian sebagai spekulatif.
|
Sementara itu, Guba dan Lincoln dalam Moleong
(1989) membandingkan penelitian kualitatif dan kuantitatif sebagai berikut:
KUANTITATIF
|
KUALITATIF
|
1.
Teknik yang digunakan kuantitatif.
2.
Kriteria kualitas ketat (rigor)
3.
Sumber teori a priori
4.
Persoalan kausalitas dapatkan x menyebabkan y.
5.
Tipe pengetahuan yang digunakan proporsional.
6.
Pendirian bersifat reduksionis.
7.
Bermaksud menguji atau membuktikan (verifikatif)
|
|
Fry (dalam Imron
Arifin; 1996), membandingkan penelitian kuantitatif dan kualitatuif sebagai
berikut:
Kuantitatif
|
Kualitatif
|
1.
Menganjurkan penggunaan metode kuantitatif.
2.
Logika positivisme melihat fakta atau kausal fenomena sosial dengan
sedikit melihat bagi pernyataan subyektif individu-individu.
3.
Pengukuran terkontrol dan menonjol.
4.
Obyektif.
5.
Jauh dari data; data merupakan
perspektif “out-sider”
6.
Tidak grounded, orientasi verifikasi konfirmatori, reduksionis,
Inferensial dan deduktif-hipotetik.
|
1.
Menganjurkan menggunaan metode kualitatif.
2.
Fenomenologisme dan pemahaman prilaku manusia dari frame of reference
aktor itu sendiri.
3.
Observasi tidak terkontrol dan naturalistik.
4.
Subyektif.
5.
Dekat dengan data; data merupakan perspektif “insider”.
6.
Gorunded, orietasi diskoveri, eksplorasi, ekspansionis, deskriptif dan
induktif.
|
[1] Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta:
Rake Sarasin, 1998), 4.
[2] Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi
(Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999), 14.
[3] Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu, sebuah pengantar popular
(Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000), 105.
[4] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1986), 76.
[5] Ibid., 6.
[6] Goenawan Muhammad, Methodologi Ilmu Ekonomi Islam, suatu
pengantar (Yogyakarta: UII Press, 1999), 24-26.
[7] Noeng Muhajir, Metodologi, 12.
[8] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000), 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar